Bukan Karena Tuhan Tak Adil

 

Derai hujan yang turun tak menghilangkan setitikpun indahnya senja yang tertuang dalam barisan perbukitan yang memaku bumi. Hamparan ladang hijau yang menyelimuti tanah basah semakin terlihat indah dengan tatanan pinus cemara yang tampak menguning karena kilau emas mentari jingga.

Tuhan itu Maha Adil Nak, percayalah Tuhan akan memberi yang terbaik buat kamu! Kamu tinggal berikhtiar dan berdo’a saja!

Kata-kata Abah kembali bergaung ditelingaku, pesan yang beliau sampaikan sebelum dipanggil oleh Sang Pemilik Kehidupan itu sempat menjadi tuntunanku, tentu sebelum semuanya menjadi tak adil bagiku. Bahkan aku menjadi ragu apakah Tuhan benar-benar Maha Adil, ketika melihat nasibku yang jelas-jelas tak seindah hidup orang lain.

Berikhtiar. Aku sudah berikhtiar, berusaha mendapat nilai yang bagus agar aku bisa lulus dan berkuliah seperti teman-teman yang lain. Aku lulus, nilaiku sangat memuaskan, bahkan mendapat peringkat satu paralel. Seharusnya pula orang tuaku bangga, seharusnya pula orangtuaku mampu menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Tapi dihari itu juga, Tuhan membakar habis ladang milik orang tuaku, tak ada yang tersisa kecuali tanah gersang yang membutuhkan waktu lama agar bisa ditanam. Abah bekerja keras untuk memulihkan ladang, tapi ular berbisa malah mematuk kakinya hingga Abah meninggal. Ummi membanting tulang untuk menghidupi aku dan adikku dengan berjualan gorengan didekat pasar, tapi sepeda motor menabraknya hingga kaki Ummi patah dan kini tak mampu berjualan lagi. Dan aku? Seorang siswa lulusan SMA favorit, yang bersekolah dengan bantuan beasiswa dan lulus dengan nilai terbaik, terpaksa menghentikan laju pendidikanku dan hanya menggantikan Ummi berjualan gorengan. Apakah ini yang namanya keadilan?

Aku tersenyum penuh kepongahan, menanti ketidakadilan berikutnya yang akan Tuhan hadiahkan untukku.

“Apa yang kau pikirkan nak?”

Suara Ummi membuyarkan lamunanku. Kupandangi wajah Ummi yang menatapku dengan mata sayu.

“Tidak Ummi,”

“Kau senang membantu Ummi berjualan?”

Hah, pertanyaan macam apa ini. Tentu menyenangkan jika membantu orang tua dengan duduk di kursi kantor, memeriksa keuangan atau sebagainya. Tapi ini? Membantu orang tua berjualan gorengan dipasar, apanya yang menyenangkan! Umpatku kesal.

“Ardan ingin ke Jakarta,” Jawabku tegas.

Kudengar helaan nafas Ummi, kulihat kedua mata sayunya menatap Laras yang tengah sibuk bermain dengan boneka usangnya.

“Apa yang ingin kau lakukan disana?”

“Kerja Ummi, kerja! Uang pensiunan Abah ditambah dengan berjualan gorengan tak mampu mencukupi kebutuhan bukan?”

“Tapi merantau di ibukota tidak semudah yang kamu bayangkan, terlebih kamu hanya memiliki ijazah SMA nak!”

“Iya, dan aku hanya memiliki ijazah SMA karena Ummi bukan? Dulu Ummi bilang kita tak boleh berhenti bermimpi, tapi kenapa sekarang Ummi menghalangi mimpi Ardan?” Ujarku dengan suara tinggi karena emosi.

Kulihat Ummi terpaku, kelopak matanya yang hitam tak mampu membendung air matanya hingga tercurah membasahi pipinya. Dan saat seperti ini adalah saat yang paling kubenci, karenanya aku lebih memilih pergi dan mengunci diri di kamar, membiarkan kesepian menenangkan segala emosiku.

Mentari sudah mulai menunjukan keperkasaan lewat cahayanya, ia  mengayunkan sinar keemasannya pada tangkai ufuk timur yang indah. Aku duduk menatap fajar di gardu bambu depan rumahku, menghirup dalam-dalam udara pagi dan merasakan kesegaran yang merasuk lewat paru tubuhku.

“Ummi buatkan teh, ya?”

Aku menggeleng pelan, “Nggak usah Ummi,”

“Kamu masih marah sama Ummi?”

Entahlah, aku tak sendiri tak tau harus menjawab apa. Aku sendiri menyadari bahwa ucapanku kemarin sudah jelas-jelas menyakiti hati Ummi dan membuatnya menangis.

“Maafkan Ummi, nak. Maafkan Ummi yang tak mampu membiayai kuliahmu,”

“Aku sudah tak menginginkan kuliah Ummi,” Ujarku datar. Memang, yang aku inginkan saat ini adalah bisa bekerja dan mendapatkan uang yang banyak, baru setelah itu aku pikirkan masa depanku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Kalau kamu pergi bagaimana dengan Laras? Ummi sudah tak sekuat dulu untuk menjaga laras, dan untuk mencari uang demi sekolahnya,” Ujar Ummi.

Laras yang selalu Ummi jadikan alasan untuk segala keinginanku. Laras yang masih duduk dikelas dua SD, yang masih belum pintar menyebrang jalan untuk bersekolah sehingga membutuhkan orang untuk menuntunya. Laras yang masih kecil dan membutuhkan teman untuk bermain dengannya. Laras yang jelas tak mampu berjualan gorengan untuk menggantikanku. Mungkin itu alasan Ummi saat ini. Dan itu semua yang membuatku menjadi benci dengan bocah itu.

“Sudahlah Ummi. Aku lelah membahas itu semua. Aku pergi kerja sekarang,” Ujarku seraya bangkit meninggalkan Ummi.

Laras berjalan tergopoh-gopoh dibelakangku, sepatu talinya masih belum terikat sempurna, dan itulah kebiasaan buruknya.

“Abang, tolong!” Ujar Laras saat ia berhasil menjajari langkahku.

“Bodoh!” Umpatku kesal seraya merapikan simpul tali pada sepatu usangnya.

Kuteruskan mendorong gerobak gorenganku melewati jalan setapak yang penuh kerikil. Jemari Laras memegang erat celana komprangku, mungkin ia takut terjatuh karena jalanan dipenuhi dengan batu dan rerumputan.

“Sudah sampai,” Ujarku seraya menghentikan laju gerobak dan menaruhnya ditepi jalan.

Kugandeng tangan kecil Laras, menyebrangi jalan raya yang dipenuhi dengan kendaraan bermotor.

“Abang,”

Laras kembali menarik tanganku saat aku akan berbalik pergi.

“Apa lagi?” Sahutku kesal.

Nafasnya yang pendek itu terdengar terengah-engah. Ia mendongak kearahku, menatapku dengan mata bulatnya yang bening.

“Abang jangan marah-marah lagi sama Ummi,” Ujarnya seraya berlari pergi memasuki gerbang sekolahnya.

Aku terdiam. Ucapan lugunya merasuk kedalam hatiku, mengetuk pintu sanubariku hingga aku tak mampu menjawab apapun.

Jarum jam di arloji buntutku terus merangkak naik. Samar kulihat seorang anak kecil kebingungan di tepi jalan. Pastilah itu Laras, tengah mencariku diantara celah kendaraan yang lalu-lalang di tengah jalan. Aku bangkit, menitipkan gerobakku pada Bang Koko, tukang becak yang selalu ngetem di tempatku berjualan.

“Aku temani Abang berjualan,”

“Terserahlah!” Jawabku pasrah, kali ini sambil melayani pembeli.

Kulihat wajah tirus gadis kecil itu, berkali-kali ia menelan air ludahnya. Entah apa maksudnya ia melakukan itu.

“Haus, Bang.” Ujarnya lirih.

“Pulang sana,”

“Abang benci Laras?”

“Iya,” Jawabku sekenanya seraya mengunyah ubi goreng.

“Kenapa?”

“Mau tau? Banyak kesalahan kamu! Pertama, kamu lahir di dunia ini dan menyita perhatian Ummi dan Abah. Kedua, karena kamu Abang nggak bisa pergi ke Jakarta. Ketiga, kamu selalu mengganggu Abang, selalu merepotkan Abang!” Jawabku kesal.

Kulihat air mata menetes dipipi Laras, ia merapatkan kedua lututnya dan menangis dalam dekapannya sendiri. Aku tak mempedulikannya.

Senja perlahan merayap dalam bentangan cakrawala biru, matahari tak lagi bersinar terik seperti sebelumnya. Angin sore yang berhembus tenang, cukup menghilangkah panas yang sejak tadi menempel bersama peluh disekujur tubuhku. Kurapikan daganganku sebelum pulang kerumah. Ku lihat Laras masih tertidur di bangku kayu yang kubawa, mendekap tas berwarna pink miliknya dengan erat seolah ia sangat menyayanginya. Tas itu adalah pemberianku saat aku memenangkan lomba science dulu, terlintas dalam bayangku wajah Laras yang tersenyum penuh kegembiraan saat mendapatkan tas itu. Dan kini tas itu sudah usang, bahkan menjadi satu-satunya yang ia punya. Lama kupandangi wajahnya, ada setitik rasa bersalah karena telah memarahinya siang tadi. Kulihat tubuhnya bergerak, perlahan membuka matanya, ia mengerjapkan bulu matanya yang lentik kemudian tersenyum kearahku.

“Abang menungguku?”

“Bicara apa kamu ini,”

“Abang menungguku, berarti Abang tak benci?”

“Abang benci,” Jawabku sambil mendorong gerobak. Kudengar langkah kecil Laras yang mulai berlari menajajariku, jemarinya mencengkram celanaku seperti biasa.

Bau kopi hangat melambai pada indra penciumanku, mengantarkanku pada beranda rumah. Secangkir kopi hangat dan sepiring combro terhidang dimeja, Ummi duduk disana.

“Minum dulu kopinya, nanti dingin.” Ujar Ummi,

Aku meraih secangkir kopi dan meneguknya perlahan.

Ummi tersenyum, kemudian membelai rambutku. “Maaf ya Nak,”

“Untuk apa?”

“Maaf karena Ummi tak mengerti apa mau kamu, dan membuatmu kecewa,” Ummi menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan, “Kalau kamu mau ke Jakarta, Ummi takkan menahanmu.”

Aku mengernyitkan keningku, “Maksud Ummi?”

“Siapkan barang-barangmu. Besok Mas Joko akan mengantarmu ke Jakarta,”

“Benar Ummi?”

Ummi mengangguk, “Benar Nak, raihlah mimpimu!”

Senyum bahagia terulas di wajah lelahku, aku peluk Ummi dengan erat. Aku merasakan air mata Ummi jatuh mengenai punggungku.

“Ummi akan selalu mendoakanmu,” Ujarnya lirih.

Aku mematung diri didepan cermin, merapikan pakaianku untuk bersiap-siap menuju kota yang kata orang banyak rejeki itu.

“Mas Joko sudah menunggu, Nak!” Ujar Ummi mengingatkanku.

Ummi dan Laras berdiri di depan pintu, sementara Mas Joko sudah berada dijok mobilnya.

“Ardan berangkat Ummi,”

Ummi memelukku erat, “Hati-hati. Jaga diri dan akhlakmu,”

Aku mengangguk, “Insya Allah, Ummi.” Ujarku yang kemudian bergantian menatap Laras.

Ku lihat kedua matanya memerah, jemarinya mencengkram erat gamis biru Ummi. Aku memandangnya lekat-lekat, ingin aku mengucapkan salam padanya, namun ia malah berlari kedalam rumah.

“Dia mungkin sedih melihat Abangnya pergi,” Ujar Ummi, “Pergilah, hati-hati dijalan.” Lanjutnya.

Aku segera pergi menyusul Mas Joko di dalam mobilnya. Sempat Ummi melambai kearahku sebelum laju mobil membuat bayangan Ummi hilang dalam kedua mataku.

Langit sudah mulai menghitam, namun tak jua aku mendapatkan kost untuk aku tinggal. Sebenarnya sudah banyak kost yang aku dapati, namun rata-rata mereka menyewakan kamarnya terlalu tinggi sehingga uangku jelas tak cukup untuk membayar uang mukanya. Sebuah papan putih yang menggantung di tembok pagar cukup menyita perhatianku. “TERIMA KOST PUTRA” begitu bunyinya.

Aku menekan bel di pagar rumah. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu pagar untukku.

“Cari kamar, Dik?”

Aku mengangguk, “Benar Bu. Tapi, berapa sewanya?”

Wanita itu tersenyum, “Murah Dik, dua ratus perbulan.”

Cukup murah jika dibandingkan dengan kost-kost yang sempat kudatangi, rata-rata menyewakan dengan biaya tiga sampai lima ratus perbulan. Dan kost ini cukup untuk kantong perantau sepertiku.

Wanita itu mempersilahkanku masuk kedalam.

“Kamu bisa istirahat dulu, masalah uang bisa dibicarakan besok.” Ujar wanita itu.

Segera kurapikan barang bawaanku, menata pakaian dalam lemari kecil dan menaruh buku pada meja. Semua kutata rapi. Tak lupa kutata dokumen penting pada tasku untuk kubawa melamar pekerjaan besok.

“Darimana, Mas?”

Aku menoleh. Seorang lelaki dengan usia tak jauh beda denganku berdiri di ambang pintu kamarku.

“Bantul,”

“Wah, sama dong Mas!”

“Kebetulan kalau begitu, jadi punya saudara disini,”

“Kenapa datang ke Jakarta Mas?”

“Mau kerja. Kau pasti mahasiswa?”

Lelaki itu tersenyum, “Begitulah Mas.”

“Oh iya, saya Ardan! Muhammad Ardan!”

“Saya Ari.” Ujarnya sambil membantuku merapikan tempat tidurku. Kami terus bercerita panjang lebar sampai dipisahkan oleh rasa kantuk.

Suara bising kendaraan membuatku terbangun dari tidurku. Jam menunjukan pukul lima pagi, dan aku terlambat mengerjakan shalat subuhku. Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku. Baru setelah itu aku bersiap-siap untuk pergi melamar pekerjaan.

Sudah enam gedung perkantoran yang aku datangi sampai saat ini, namun jawabannya tetap sama “tidak ada lowongan”. Sudah lima jam pula aku berkeliaran dan berkutat dengan aktifitasku. Berharap ada lowongan yang bisa membuatku bekerja dengan baik disana.

“Cari kerja, Mas?” Seorang pria berjaket  hitam menghampiriku yang tengah duduk menebus lelah di halte bus.

“Iya,”

“Di kantor saya ada lowongan, Mas.”

“Yang benar mas?”

“Iya. Mas lulusan apa?” Tanya pria itu, pertanyaan yang cukup membuatku malu untuk menjawab.

“SMA. Ya, meskipun SMA tapi nilaiku sangat bagus Mas. Apa kira-kira saya bisa bekerja disana?”

Pria itu tersenyum, “Tepat sekali Mas. Ayo ikut saya,”

“Kenapa berhenti Mas?” Tanyaku dengan sedikit penasaran saat pria itu menghentikan langkahnya.

“Tau kenapa mereka tak menerima kamu?”

Aku menggeleng.

“Karena kau bodoh,” Ujar Pria itu seraya mengambil tasku dengan cepat.

Aku berusaha berlari mengejarnya, namun seorang pria bersepeda motor telah membantunya melarikan diri. Aku terpaku dengan jiwa yang kosong, terpaku meratapi nasibku yang lagi-lagi tak adil bagiku. Uangku hilang, ijazah yang kubanggakan itu hilang. Bahkan sebelum aku sempat membayar kost-ku, uangku telah raib tak terisa. Tak seharusnya aku percaya pada orang yang bahkan belum aku kenal.

Kini aku berdiri mematung memandangi rumah kost dengan penuh takut, malu bahkan berharap. Berharap agar pemilik kost mau menerimaku sementara uangku raib ditangan penjahat.

“Ardan? Sedang apa kamu berdiri di sana? Masuk-masuk!”

Ibu Kost tampak memanggilku. Dasternya yang berwarna ungu menyala cukup menyilaukan pandanganku saat ini. Aku sendiri tak pernah melihat Ummi memakai baju berwarna terang seperti itu.

Aku duduk di kursi tamu, menunduk karena tak berani memandang wajah wanita itu.

“Bagaimana? Bisa kita bicarakan masalah administrasinya?”

“E.. anu Bu.. sebenarnya,,”

“Kenapa?”

“Uang untuk membayar sewa kamar sudah raib diambil pencopet siang tadi,” Ujarku seraya menahan nafasku. “Bisa saya tinggal semalam lagi Bu?”

“Banyak yang lain yang mau menempati kamar itu, tentu yang memiliki uang. Bukan penipu seperti kamu,”

“Tapi Bu, ini kecelakaan. Saya tidak bermaksud menipu. Saya sudah siapkan uang itu. Tapi diambil penjahat tadi Bu,”

“Sudahlah, aku tak mau mendengar apapun. Kemasi barangmu sebelum aku panggil satpam kompleks!” Bentak Ibu Kost seraya pergi meninggalkanku.

Kini aku hanya mampu duduk di tepi toko sepatu. Seorang gadis kecil pembawa kembang api menyita perhatianku. Gadis kecil yang berdiri ditepi toko dengan bajunya yang tambal sulam disana-sini. Kedua matanya menatap air hujan, seolah berharap agar hujan cepat berhenti. Jemarinya yang kurus menggenggam keranjang berisi kembang api yang hanya beberapa buah. Matanya bulat bening seperti mata Laras. Ah, entah kenapa aku jadi teringat bocah kecil menyebalkan itu.

“Ganti uangku, penipu!!”

Bentakkan suara Ibu-ibu menyadarkanku pada lamunanku. Ibu itu berdiri menghadap gadis kecil itu. Telunjuknya menunjuk wajah pucat gadis itu.

Gadis itu semakin ketakutan, dengan gemetar ia meraba saku bajunya dan mengambil beberapa keping uang receh lalu menyerahkannya pada wanita dihadapannya.

“Apa ini!!” Wanita itu membanting koin-koin uang itu hingga tercecer dimana-mana.

Aku segera bangkit, berlari menghampiri wanita itu dan melindungi gadis kecil itu dari amukannya.

“Apa masalahnya, Bu?”

“Dia!” Wanita itu melayangkan telunjuknya pada wajah gadis itu, “Penipu!”

“Penipu?”

“Iya, dia menjual kembang api yang sudah rusak. Wajar kalau saya minta ganti! Eh, malah dikasih uang receh! Memang saya pengemis?”

“Memang berapa Bu?”

“Lima ribu!”

“Ini,” Aku memang sempat mengantungi beberapa lembar uang di saku celana sebelum penjahat itu datang menipuku.

Wanita itu pergi, dan kini gadis itu menangis. Ia menangis tersedu-sedu sambil mendekap lututnya. Seketika aku teringat pada Laras yang menangis karena bentakanku siang itu.

“Sudah, adik tak usah menangis!” Hiburku seraya mengelus rambutnya.

Gadis kecil itu menghentikan tangisnya, kemudian kedua mata bulatnya menatapku, persis seperti Laras saat ingin bertanya padaku.

“Makasih Kak,” Ujarnya lirih.

“Iya. Sama-sama. Kalau boleh tau, kenapa kembang apimu rusak?”

Gadis itu menunduk, meraih kembang api itu dan mendekapnya seolah ia sangat menyayanginya. Dan lagi-lagi aku teringat pada Laras saat ia mendekap tas pemberianku itu. Entah mengapa gadis kecil itu begitu mirip dengan Laras, dari mata hingga semua tingkah polosnya. Dan entah apa yang membuatku seolah ingin dekat dengan gadis itu.

“Kembang api itu sudah lama. Dulu Kakak selalu mengumpulkan uang untuk membeli kembang api. Setiap hari dibeli sampai banyak. Untuk dinyalakan saat tahun baru.” Gadis itu kembali mengeluarkan air mata, namun ia tetap melanjutkan ceritanya, “Tapi belum sempat tahun baru, Kakak meninggal. Dan aku menjualnya.”

“Meninggal?”

“Ditabrak lari waktu melarikan diri dari Bang Kadir yang memaksa kawin dengannya.” Ujarnya dengan isak tangis.

Gadis itu menyeka air matanya, kemudian tersenyum menampilkan deretan giginya yang geripis.

Aku tersenyum, “Siapa namamu?”

“Amel. Kakak?”

“Ardan. Amel kenapa jualan kembang api?”

“Cuma itu yang Amel punya. Emak sakit lumpuh. Nggak bisa jualan,”

Aku mengangguk-angguk, “Amel udah makan?”

Amel menggeleng pelan, “Uang tadi cuma cukup beliin Emak nasi bungkus,”

“Kalo gitu kita makan yuk?”

Amel mengangguk-angguk senang. Aku tersenyum bahagia. Entah mengapa kehadiran Amel melupakan sejenak semua masalahku selama ini. Bahkan aku menjadi teringat dengan Laras. Aku tak pernah bersikap baik padanya akhir-akhir ini. Gadis kecil itu kembali menunjukan tingkahnya yang membuatku teringat dengan Laras. Ia terus memegangi celanaku, bertanya macam-macam padaku. Aku pun tak segan-segan bercerita mengenai kedatanganku di Jakarta, sampai pencopet mengambil uang dan seluruh isi tasku.

“Kakak tinggal di rumahku aja!”

Aku tertawa, “Bagaimana dengan Emak kamu?”

“Pasti dia senang! Mau yah?” Rengeknya seraya menarik-narik kemeja biruku.

Amel terus menuntunku melewati lorong kecil yang gelap tanpa penerangan sedikitpun. Sesekali ia menyalakan korek apinya untuk memastikan tak ada tembok di depannya.

“Disini,”

Amel menghentikan langkahnya tempat disebuah rumah kecil berdindingkan kardus-kardus berkas. Ia menarikku masuk kedalam rumahnya. Membawaku kehadapan Emaknya yang tengah terbaring di ranjangnya.

“Emak. Ini Kak Ardan. Dia nolongin Amel waktu ada orang marahin Amel.” Ujarnya polos.

Aku hanya bisa tersenyum menatap wanita itu.

“Dia boleh nginep Mak? Dia habis ditipu sama penjahat, uangnya habis.”

Wanita itu mengangguk, “Istirahat saja Nak, kami senang.” Jawab Wanita itu lirih.

Malam kian merayap, menggantungkan ribuan permata di langit malam. Aku memandangi lukisan malam itu lewat celah atap yang berlubang. Kurasakan damai yang menyentuh kalbu. Seketika bayang tentang Ummi dan Laras bergaung dipikiranku. Aku yang tega membentak dan membenci Ummi, aku yang tak pernah lagi peduli pada Laras adikku sendiri. Bahkan aku tega meninggalkan mereka hanya untuk menuruti keinginanku untuk hidup di Jakarta, padahal aku tahu Ummi tak mampu bekerja dengan kakinya yang patah. Aku yang tega membenci Laras, padahal ia tak tahu sama sekali apa masalahku. Tiba-tiba aku menjadi sangat merindukannya, merindukan senyum hangat Ummi dan celotehan Laras. Entah tengah apa mereka sekarang ini, entah siapa yang menjual gorengan itu, siapa yang membantu Laras menyebrang jalan, aku tak tahu, dan aku menjadi sangat berdosa karenanya.

Jalanan masih basah akibat hujan yang semalaman mengguyur kota Jakarta. Kini aku duduk bersama Amel ditepi toko, menjajakan kembang api milik Amel yang mungkin sudah tak menyala lagi. Amel terus mengoceh tentang ceritanya bersama Kakaknya dulu, cerita yang terkadang membuatku ingin menangis karena terharu.

“Mas! Mas Ardan!”

Suara seorang lelaki yang tampak kukenal menyapa telingaku. Aku menoleh, kulihat Ari berlari menghampiriku.

“Ari? Bagaimana kau tau aku disini?”

“Gak sengaja Mas, tadi lewat. Aku sudah dengar semuanya dari Ibu Kost. Semalam Mas tinggal dimana?”

Aku menunjuk gadis kecil itu, “Dirumahnya.”

“Siapa Mas?”

“Adik baruku,” Jawabku seraya tersenyum.

“Oh iya, Mas pernah bilang kita saudara kan?”

Aku mengangguk, “Selamanya saudara,”

“Kalau begitu terima uang ini Mas, ini untuk Mas pulang kampung.”

“Nggak usah,”

Ari memasang wajah memelas, “Ayolah Mas. Tolong terima, kita ini saudara, satu kampung.”

“Iya Kak, terima saja! Biar bisa kumpul sama Ummi sama Laras,” Sahut Amel yang memang sudah tahu tentang keluargaku.

“Ambil Mas,”

Aku meraih amplop putih itu dengan penuh rasa syukur, “Makasih Ri. Bagaimana aku bisa menghubungimu nanti?”

Ari tersenyum, menyerahkan kartu nama berwarna biru padaku. “Hubungi saja Mas,”

Senja ini menjadi senja yang begitu mendebarkan untukku, aku berjalan di jalan setapak menuju rumahku penuh dengan berjuta rasa yang menyeruak dalam hati. Kaki ini terus melangkah menuju rumah kecil bercat hijau yang menyimpan banyak kenangan untukku. Tak seperti biasanya, rumah terlihat sepi, tak ada Ummi yang duduk menonton senja bersama Laras seperti senja-senja yang telah lalu. Aku terus melangkahkan kakiku, memasuki rumah yang tampak lengang dikedua mataku.

“Assalamualaikum,”

Tak ada jawaban. Aku makin panik, takut sesuatu terjadi pada Ummi.

“Assalamualaikum,” Kunaikkan suaraku.

“Waalaikumsalam,” Suara lirih Ummi terdengar menyahut salamku. Aku lega karena ternyata Ummi baik-baik saja. Ummi tampak terkejut melihat kedatanganku.

“Maafkan Ardan Ummi,”

Ummi menangis dalam dekapanku, “Tidak ada yang perlu Ummi maafkan, nak!”

“Tapi Ardan sudah membentak Ummi dan meninggalkan Ummi,”

“Ummi sudah memaafkan semuanya. Apa yang membuatmu begitu cepat pulang nak?”

“Ardan ditipu. Uang dan surat-surat Ardan hilang, Ummi.”

Ummi mengelus punggungku dengan penuh sayang, “Sabar Nak, yang penting kamu baik-baik saja.”

“Mana Laras, Ummi?”

Seketika Ummi terdiam, tangisnya makin menjadi. “Laras meninggal, ditabrak motor waktu menyebrang jalan.”

Aku tak mampu bergerak, bahkan mengucapkan suatu apapun saat ini. Air mata tak mampu aku bendung lagi. Beribu penyesalan, bahkan rasa bersalah semakin menggelayuti hati. Seandainya aku tak pergi, dan masih terus membantu Laras menyebrang jalan mungkin ia masih ada disini. Kucoba menghampiri ranjangnya, duduk mendekap boneka usang Laras dengan erat.

“Ini untukmu dari Laras,” Ummi menyerahkan diary kecil padaku.

Aku menerimanya dan membukanya perlahan. Kudapati gambar Abah, Ummi, Aku, dan Laras yang ia gambar dengan tangannya sendiri. Aku semakin terisak dengan tangisku saat membaca tulisan kecil pada lembar kedua kertas itu.

Akhirnya Laras bisa beli diari pake uang Laras sendiri. Selama ini Laras ngga pernah jajan, itu semua karena Laras ingin mengumpulkannya untuk membeli buku cantik ini. Awalnya mau Laras kasih buat Abang Ardan, tapi waktu uangnya belum terkumpul Abang udah pergi ke Jakarta, jadi Laras minta dua lembar buat nulis ini. Maaf ya Bang. Laras seneng banget punya Abang, meski Abang galak sama Laras Abang nggak pernah mukul laras, itu makanya Laras gak percaya waktu Abang bilang benci ke Laras. Laras kangen banget sama Abang, pengen nggandeng celana Abang, pengen diantar kesekolah bareng Abang. Laras kasihan sama Abang. Semenjak Abah pergi Abang jadi kayak orang jahat, kerjaannya marahin Ummi dan Laras. Laras kangen banget sama ketawa Abang waktu Laras jatuh pas jalan di jalan yang nggak rata itu, tapi sekarang kalo jatuh pasti dimarahin. Laras kangen waktu Abang ngacak-acak rambut Laras. Pokoknya kangen sama semuanya deh! Abang jangan nakal yah sama Ummi, kasihan Ummi nangis terus. Laras janji Laras nggak bakal nakal, cerewet dan gangguin Abang lagi kok. Oke!!! Senyum ya Abang. Laras sayang Abang.

            Tanganku semakin gemetar. Kupandangi kedua mata Ummi yang berair. Ummi memelukku erat, “Laras bahagia disana.” Ujar Ummi lirih.

Embun pagi telah menemani pagiku pada gundukan tanah basah di pemakaman kampungku. Kupandangi batu nisan yang telah terukir nama Laras dengan indah, kubelai perlahan seperti aku membelainya dulu.

“Abang sayang Laras,” Ujarku seraya tersenyum seperti permintaan terakhir Laras pada diary miliknya.

Aku berjalan ditengah ladang gersang peninggalan Abah. Menghirup dalam-dalam udara pagi yang begitu menyejukkan. Kata-kata Abah mengenai keadilan Tuhan kembali bergaung di telingaku. Ya, Tuhan memang adil. Ia berikan segala hikmah lewat skenario-Nya. Tugas kita adalah bersyukur dan menjalaninya dengan ikhlas, bukan mendikte-Nya seolah hidup harus berjalan dengan sesuai keinginan kita.

Leave a comment