Love In Dusk

LOVE in the DUSK

 

“Ada yang ingin kukatakan padamu!”

Saat itu hujan turun dengan derasnya, mentari tak lagi bersinar cerah seperti biasanya. Tapi entah mengapa, ia lebih memilih saat-saat seperti ini untuk menemuiku di ruang latihan kepenulisan sekolah.

Kali ini ku lihat sinar matanya yang berbeda menatapku. Tak biasanya ia menatapku demikan, ia selalu menundukan pandang jika bersua denganku. Tapi tidak untuk kali ini, ia menatapku dengan sangat dalam. Kemudian tersenyum manis, sangat manis.

Lagi aku rasakan getaran hebat di dadaku. Ada perasaan berbeda yang kurasakan di hati ini, perasaan yang selalu ada semenjak aku dipertemukan dengannya dalam sebuah drama sekolah. Saat itu kurasakan sikap yang hangat darinya. Ia yang selalu menungguiku hingga aku mendapatkan bus kota untuk pulang ke rumah, bahkan pernah suatu ketika ia mengantarkan aku pulang karena hari sudah cukup petang. Ia yang pernah melindungiku saat aku mendaki bukit dengan teman-teman. Dan Ia yang selalu mengajariku berbagai macam pelajaran yang tak pernah aku mengerti. Sejak saat itu, ada perasaan berbeda dalam hatiku. Ada rasa bahagia jika bertemu dengannya, dan ada rasa kehilangan ketika tidak bersua dengannya.

Aku yang saat itu divonis dokter menderita leukemia, dan tengah berjuang melawan lelah yang selalu memberontak, selalu takut untuk mencoba bertanya pada hati ini mengenai perasaan yang aku rasakan, karena aku tak ingin merasakan cinta sementara ragaku kian merangkak diujung senja. Suatu ketika aku mencoba menjauhinya, namun pedih yang terasa. Kulihat sorot matanya menatapku penuh tanya. Ia pernah mendekatiku, namun sebisa mungkin ku menghindarinya. Saat itu yang kurasakan adalah rasa bersalah yang begitu dalam, aku selalu menangis jika kesendirian menghampiriku. Menangis karena aku tak tau apa yang kurasakan, menangis karena mungkin aku telah menyakiti hatinya.

Berhari-hari ia menyapaku, namun aku hanya menjawabnya datar. Sampai suatu hari aku benar-benar merasa jauh darinya. Ia tak pernah menyapaku, tak lagi mengirimkan pesan singkat padaku. Bahkan tak pernah kulihat senyum darinya. Saat itu aku merasakan kehilangan yang begitu dalam, kepedihan yang begitu menyayat hati. Dan saat itu aku tersadar, hatiku tergugah. Ku coba bertanya dalam hati ini, dan ada satu jawaban yang terukir di dalam hati. Jawaban yang membuatku menangis, menangis akan semua yang pernah ku perbuat. Menangis karena takut jika aku tak bisa mengatasi perasaan ini dan membuaku jauh dengan Allah. Karena aku mencintainya. Aku mencintai dia, Aluna Azzona.

“Apakah kedatanganku mengganggumu?”

Ku coba untuk tersenyum, senyum yang tak pernah lagi terukir di wajahku. “Tidak, sudah aku selesaikan semuanya!”

“Tadi kau bilang ada yang ingin kau katakan? Apa?” Tanyaku kemudian.

Kulihat kedua matanya memandang lurus kedepan, memandang hamparan ilalang yang tumbuh menguning karena beradu dengan mentari senja.

“Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan yang sebelumnya tak pernah aku rasakan. Sudah berulang kali aku coba untuk menghilangkan perasaan ini, namun tak bisa.”

Aku terkesiap, mungkinkah ia mencintai seseorang? Siapa? Aku hanya bisa terdiam memandang dedaunan kering yang tertiup angin sore.

“Sejak ku rasakan itu, aku seperti orang bodoh,” Ujarnya kemudian.

Aku coba untuk bertanya, “Apa kau telah mencintai seseorang?”

Kudengar helaan nafasnya, “Sudah ku coba untuk menghilangkan bayang wajahnya, namun tak pernah bisa kulakukan itu! Ku rasa, aku benar-benar mencintainya,”

Hatiku bergetar, bertanya siapa yang ia cintai? Mengapa ia berkata demikian padaku? Ingin aku menangis, namun itu sungguh memalukan.

“Siapa dia?” Tanyaku dengan penuh keraguan.

Kumerasakan pandangan matanya beralih menatapku, menatapku hangat, sangat hangat, “Kamu!”

Saat itu jantungku seolah berhenti berdetak, mulut ini seolah terkunci rapat. Tubuhku melemas. Entahlah, aku tak menyangka ia akan berkata demikian padaku.

“Ku kumpulkan keberanian untuk menyatakan semua ini, hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertemu padamu hari ini.”

“Mengapa harus aku?”

Aluna mengerutkan keningnya, “Entahlah, ada sesuatu yang menarik pada dirimu. Terlebih kepribadian dan akhlaqmu. Kau berbeda dengan wanita lain. Saat wanita lain bangga dengan mode terbaru yang ia kenakan, kau justru bangga dengan jilbab yang kau kenakan. Saat wanita lain bangga dengan pria yang mereka sebut pacar, tapi kau malah bangga dengan kesucianmu yang belum terampas bahkan tersentuh pria lain. Itulah mengapa aku mencintaimu!”

Mataku memerah, bagaimana mungkin ia menilaiku demikian? Bahkan mungkin aku telah membuat Allah cemburu dengan cintaku padamu, dengan air mata saat aku merasa jauh darimu.

“Aku tak seperti apa yang ada dipikiranmu…” Ujarku pelan.

Ia tersenyum, “Apa pun itu, aku mencintaimu. Mencintaimu apa adanya.”

Ku tundukan pandanganku, sebanyak mungkin ku ingat Allah dalam hatiku. Apa yang harus aku lakukan saat ini, aku tak tahu. Aku tahu aku mencintainya, tapi aku tak mungkin menyatakannya. Aku ingin ia menilai sendiri perasaanku padanya. Aku ingin ia menilik lebih jauh tentang hati ini sendiri. Dan aku tak ingin cinta ini beralaskan nafsu. Aku tak ingin menjadi remaja yang dibutakan oleh cinta, cinta semu pada makhluk ciptaan-Nya.

“Terimakasih atas cinta yang kau berikan. Hanya Allah yang bisa membalas semuanya. Kita serahkan semua pada kehendak-Nya,” Aku yakin Aluna akan mengerti maksudku. Aku tidak menolak, tidak juga menerima. Tapi aku hanya ingin pasrahkan semua pada Tuhan agar cintanya padaku tetap suci tak ternoda.

Aluna tersenyum lebar kemudian tertawa, “Aku hanya bercanda. Aku tidak serius. Aku tidak mungkin mencintaimu, yang kukatakan tadi hanyalah lelucon belaka!”

Bagaikan di sambar petir, hatiku begitu terguncang mendengar pernyataannya. Apa maksudnya ia berkata demikian, aku tak mengerti. Saat itu yang kurasakan adalah luka yang menyayat hati, mataku memerah, hatiku cukup tersakiti saat ini. Ia berkata bahwa semua seolah hanya lelucon belaka, di saat hati ini tulus mencintainya. Di saat hati ini hanya menginginkan cinta halal yang terjalin dihari esok bersamanya. Di saat hati ini hanya berharap bahwa ia mencinta karena Allah, dan mau menantikanku di batas waktu. Segera mungkin aku tersenyum, senyum penuh kepura-puraan.

“Iya, aku mengerti. Bagaimana mungkin aku percaya, bukankah kau tak pernah serius padaku?” Ujarku seraya tertawa kecil, kemudian kulirik arloji di tanganku, “Sudah sore, aku pulang dulu!”

Ku langkahkan kaki meninggalkan ruang itu, ku rasakan air mata menetes di pipiku. Mengapa ia berkata demikian? Saat aku menaruh harapan padanya ia malah menyakitiku. Apa salahku hingga aku dipermainkan olehnya? Memang benar, hanya Allah-lah yang mampu ku harapkan. Namun mengapa setega itu ia melakukan semua padaku?

Malam telah menggeraikan tirai hitamnya, jutaan permata di langit kelabu terlihat bak pelita yang menyinari kelamnya malam. Bulan sabit terlihat menggantung di cakrawala, menghadirkan cahaya emas yang begitu teduh dan menenangkan.

Air mataku sudah tak mampu tertahan lagi, aku terus menangis meski Al-Qur’an kini tengah berada di genggaman tanganku. Tak tau apa yang harus aku lakukan saat ini, ada rasa kesal dan sesal yang menggelayuti hati.

Pagi menjelang, matahari bersinar lembut, cukup menghangatkan sendi-sendi tulang yang hampir membeku kedinginan akibat hujan deras semalam. Udara lebih segar pagi ini, mungkin karena hujan telah menyapu debu-debu yang menari bebas di udara.

Aku berjalan gontai menelusuri koridor sekolah yang masih sepi. Hari ini, aku sengaja berangkat lebih awal dari biasanya, mataku yang bengkak karena menangis semalam tak memungkinkan aku untuk berpapasan dengan teman-teman lain di jalan. Terlebih berpapasan dengan Aluna, aku sungguh tak mampu. Mungkin akan lebih baik, jika aku terus menunduk di bangku tempat dudukku meski aku tau temanku juga akan mengetahui kondisi mataku yang bengkak saat ini. Dan Aluna pun juga akan mengetahuinya, karena ia satu kelas denganku. Dan mungkin hari demi hari akan terasa sulit kujalani saat ini.

“Kau terlihat pucat? Ada apa?”

Raka yang sedari tadi sedang duduk dibangkunya, tiba-tiba mengampiriku. Raka adalah sahabat yang selalu ada untukku, ia selalu mengerti tentang apa yang kurasakan saat ini. Kedewasaannya selalu membuatku nyaman dekat dengannya. Kedekatan yang sangat erat, yang tak jarang menimbulkan kabar-kabar burung bahwa aku adalah kekasih Raka.

“Tidak ada apa-apa,” Jawabku sekenanya.

“Tidak mungkin. Apakah tidak ada niatmu untuk mengatakan sesuatu padaku? Ceritalah! Jika aku mampu, akan kubantu semua untukmu!”

Aku terdiam, kulihat keseriusan dari kedua binar mata Raka. Dia benar-benar ingin mengetahui apa yang aku rasakan saat ini, ada kekhawatiran yang mendalam dari kedua matanya.

“Ini tentang Aluna!” Kucoba ceritakan semua pada Raka. Tentang Aluna yang tiba-tiba menemuiku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku, dan tentang Aluna yang pada saat itu juga menyatakan ketidak seriusannya padaku. Ia yang hanya menganggap itu sebuah lelucon biasa, yang secara terang-terangan melukai hati dan perasaanku.

“Dia melakukan itu semua padamu?” Tanya Raka dengan nada suara tak percaya. Aku mengangguk lemas.

“Tidak mungkin. Kurasa dia tidak sedang bergurau. Aku bisa tau dia tulus menyukaimu, hanya saja dia tidak punya keberanian untuk menerima jawabanmu. Makanya ia lebih memilih untuk memanipulasi semuanya!” Ujar Raka.

“Entahlah. Aku tak mau lagi memikirkan itu semua.”

Raka tersenyum kearahku, “Kalau begitu tersenyumlah! Jangan bersedih lagi. Itu akan membuatmu semakin lemah dimata Aluna. Percayalah!”

Aku hanya bisa tersenyum simpul saat ini, senyum yang hanya kutunjukan pada sahabatku seorang.

“Aku ingin ke kostmu. Ada pelajaran yang aku tak mengerti. Boleh?” Tanyaku.

Raka mengangguk. “Tentu! Aku tunggu!” Jawabnya seraya tersenyum.

Sore ini jam telah menunjukan pukul tiga lebih lima belas menit. Usai shalat ashar dan menyiapkan buku-buku yang harus kubawa untuk belajar bersama, aku mulai menyibukkan diri di depan cermin besarku. Kuoles merata bedak di wajah dan sedikit menambahkan celak dikedua mata, tak ketinggalan kugoreskan lip ice di bibir tipisku. Setelah itu, barulah kututup auratku dengan jilbab ungu yang senada dengan baju yang kupakai sore ini.

Rumah yang cukup luas dengan halaman yang tampak asri ditumbuhi cemara yang menghiasi setiap sudut halaman. Baru saja mulut ini akan mengucap salam, namun bayang orang di beranda rumah berhasil membuat mulutku terkatup. Seorang lelaki yang tengah sibuk dengan gitar dikedua tangannya, tampak jemarinya memetik dawai dengan lincah, menciptakan alunan irama yang indah menyapa telinga. Aku terus menatapnya, sampai kedua mata elang miliknya menyadari keberadaanku. Aluna, kini ia tengah berjalan menghampiriku. Dan saat itu juga aku baru tersadar, bahwa keputusanku untuk belajar bersama ditempat Raka adalah kesalahan yang besar, karena Aluna juga berada ditempat yang sama dengan Raka.

Aluna membuka pintu pagar, beberapa penghuni kost putri tampak memperhatikan kami berdua. “Masuk!” Ujar Aluna seraya berjalan pergi meninggalkanku, membiarkanku kebingungan mencari keberadaan Raka yang sedari tadi tak kulihat batang hidungnya.

Dengan langkah sedikit ragu, kuhampiri Aluna yang kembali menyibukkan diri dengan gitar ditangannya.

“Raka pergi!” Ujarnya sebelum aku sempat bertanya padanya, seolah ia tau apa yang ingin aku tanyakan padanya.

“Kemana?”

Aluna mengangkat kedua bahunya, “Tunggu saja!”

“Baiklah!” Jawabku masih berdiri didepan Aluna, memandangi beberapa penghuni kost yang tampak sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.

“Sampai kapan kau mau terus berdiri?” Tanya Aluna dengan nada suaranya yang tak pernah bersahabat.

“Sampai seseorang mempersilahkanku duduk, dan menjamuku layaknya seorang tamu!” Ujarku tak kalah cuek.

Dering ponsel milik Aluna membuatnya tak menjawab ucapanku. Ia bangkit dan pergi menerima telepon di dalam kamarnya. Aku masih terus berdiri sampai Aluna keluar dan berdiri tepat dihadapanku.

“Ikut aku!” Perintah Aluna sambil membawaku kedalam taman. Ada beberapa bangku taman disana, tepatnya dibawah pohon cemara yang rindang. Disana Aluna mengajakku pergi.

“Keluarkan bukumu!” Aluna kembali memerintah. Aku masih tak mengerti.

“Apa maksudmu?”

“Kau kesini untuk belajar bukan? Keluarkan bukumu, tanyakan mana yang kau tak mengerti!”

Keningku berkerut, “Mana Raka? Aku memang mau belajar, tapi dengan Raka!”

“Raka sibuk, ia akan pulang terlambat.” Jawabnya santai.

Aku masih terdiam, kini rencanaku gagal total. Seharusnya aku bisa bersama Raka saat ini, bukannya malah bersama dengan seseorang yang sedang tak ingin kutemui saat ini.

“Besok ulangan matematika, kau mau belajar tidak?”

Sulit rasanya mulut ini untuk menjawab pertanyaan Aluna, ada keinginan dalam hati untuk belajar, bagaimanapun juga aku tak ingin dicap sebagai anak bodoh di kelas karena nilai matematikaku selalu hancur. Namun jika harus belajar bersama Aluna, jelas itu lebih membuatku sulit, karena pasti ia akan lebih tau letak kebodohanku.

“Baiklah, tunggu saja Raka sampai angin sore membuat kulitmu membeku kedinginan!” Ujar Aluna sambil melangkah pergi.

“Tunggu!” Spontan kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Aluna membalikkan badannya, menatapku yang tengah sibuk menutupi rasa malu yang jelas tampak dikedua pipiku yang memerah. Bibirku gemetar saat ini, meski hanya mengatakan, “Aku ingin berlajar denganmu!

Dengan rapi dan sangat sederhana, Aluna menjelaskan semua materi yang tidak aku mengerti. Tentang bagaimana cara memecahkan soal itu, sampai bagaimana menghitung deretan angka yang memang sulit untukku hitung. Entah mengapa, saat seperti ini tak ada nada arogan yang keluar dari setiap perkataannya, ia menjelaskan semua dengan sejelas-jelasnya tanpa bosan dengan pertanyaanku yang tidak berbobot. Tanpa sadar aku memperhatikan wajahnya, Aluna tampak manis dengan alis tebalnya. Dan ada sesuatu yang baru kusadari semenjak bertemu dengan Aluna, Aluna memiliki jenggot tipis yang membuatnya terlihat dewasa dan berwibawa. Merasa diperhatikan, Aluna menghentikan aktifitasnya, ia mentapku dan berhasil membuatku salah tingkah.

Angin sore berhembus cukup kencang, menusuk hingga ke tulang rusuk, membuat badan serasa beku karenanya. Aluna masih sibuk dengan deretan angka didepannya, sementara aku sibuk menggosokkan kedua telapak tangan untuk menghangatkan tubuhku. Dari dulu aku tak pernah tahan dengan udara dingin, udara dingin selalu membuatku kesulitan bernafas seperti sekarang ini. Udara dingin yang kurasa, telah berhasil membuat tubuhku membiru karenanya. Belum pernah kurasakan sakit seperti sekarang ini.

“Ada apa denganmu saat ini?”

“Kau begitu pucat?” Aluna memperhatikan wajahku yang pias. Ku rasakan pandangannya kini berubah dengan kekhawatiran.

Segera ku palingkan wajahku, tak ingin ia terus memperhatikanku dengan pandangan demikian.

“Kau sakit?”

Aku tak mampu menjawab pertanyaan Aluna saat itu. Sesak didadaku semakin menjadi, membuat kepala ini terasa begitu pening dan pandangan ini mulai mengabur. Saat itu juga aku terjatuh, pingsan.

Saat ini aku hanya bisa merasakan aliran cairan infuse merasuki tubuhku. Aku hanya bisa mendengar suara detak jantungku sendiri yang kudengar melalui monitor di dekatku, terasa begitu lemah. Akupun hanya bisa mendengar suara orang-orang didekatku, tanpa bisa aku pandang mereka. Semua terasa lemah, aku tak mampu membuka mata barang sekejap, bahkan menggerakkan jaripun terasa sulit untukku. Aku hanya bisa mendengar, dan menerka orang-orang yang silih berganti datang dan pergi.

Sesaat ku mendengar lantunan ayat alqur’an yang begitu indah mengalun di telingaku. Suara seorang pria yang tak lain adalah Aluna, ia terus mengaji di sampingku. Hingga aku bisa mendengar semuanya dengan sangat jelas. Aku rindu, aku rindu saat-saat aku bisa mengaji di dalam kesunyian. Dan kini aku bisa melakukannya, bersama dengan Aluna. Meski aku hanya bisa mengikutinya dalam hati.

“Dhia… Apa kau tak kasihan padaku? Menjalani hari-hari dengan penuh kekhawatiran memikirkanmu?”

Diam

“Dhia… aku merindukanmu. Kau tau? Saat aku mengatakan bahwa aku mencintaimu itu adalah perkataan yang tulus dari dalam hatiku. Namun, aku takut kau menolak cintaku, hingga akhirnya aku berkata bahwa semua hanya lelucon. Tapi andai kau tau, sejak hari itu aku terus menyesali perbuatanku… Jawabanmu yang tidak berujung membuatku semakin pesimis Dhi! Dan karena itu kau membuatku sakit hati! Maka kau harus bangun dan meminta maaf padaku!”

Kudengar semuanya dengan jelas. Hatiku kian bergemuruh, sesaat ku merasakan aliran basah merayap di wajahku. Bukan dari luar, tapi itu berasal dari mataku sendiri. Ingin aku membuka mata, tapi aku tak sanggup.

“Kau yang seharusnya meminta maaf padanya!”

Kudengar suara Raka yang penuh amarah.

“Kau tau? Semenjak kejadian itu Dhia terus menangis? Kau yang telah menyakiti hatinya disaat ia mencintaimu! Disaat ia mulai menata rapi dan menjaga cintanya diujung usianya!”

“Apa kau bilang?”

“Iya. Dhia memang tak bisa berkata secara langsung. Dan andai kau mau meniliknya lebih lanjut, kau akan temui jawabannya. Dhia hanya ingin kau menilai sendiri perasaannya. Dhia memasrahkan semua pada Tuhan bukan berarti Dhia tidak mencintai kamu! Tapi memang demikian adanya, hanya Allah yang bisa membalas cinta kamu! Cinta Dhia padamu tak berarti apa-apa dibanding cinta Allah. Itu yang Dhia maksud! Kau mengerti?” Suara Raka terdengar berbaur dengan nafasnya yang tak teratur, menandakan emosinya tengah membara. “Dhia menderita leukemia!”

Kurasakan aliran basah itu semakin mengalir deras mengalir di pipiku. Kudengar suara adzan berkumandang. Dan saat itu aku merasakan energi besar di tubuhku, perlahan kcoba menggerakkan jemariku dan kubuka mataku. Dan saat itu pula aku melihat Aluna yang tengah memandangku dengan binar bahagia, Ibu yang tengah tersenyum sambil membelai jilbabku, Ayah yang menggenggam tanganku. Semua terasa indah untukku, beribu syukur ku panjatkan pada Allah karena akhirnya aku bisa menikmati dunia luar, bisa bersama dengan mereka yang kusayang, dan bisa terus beribadah. Aku menangis haru.

Senja telah datang dengan sapuan siluetnya yang menyapu langit biru. Burung parkit terbang bebas di cakrawala jingga. Aku duduk dikursi roda, menikmati senja yang penuh makna dihalaman rumah sakit yang seolah sudah menjadi rumah kedua bagiku.

“Aku mencintaimu karena Allah,”

Aku menoleh, Aluna berdiri di sampingku. Ia tersenyum manis, seraya menatap langit yang mulai menjingga. Aku melihat ketulusan yang suci dari sinar yang terpancar di kedua matanya.

“Semoga engkaulah imamku untuk selamanya,”

Bersama Aluna, aku menyusuri jalan setapak yang penuh dengan bunga liar di tepi jalannya. Memandangi langit senja dengan warna jingganya yang begitu menenangkan, memandangi ribuan burung yang terbang bebas dicakrawala. Namun seketika semua sirna, dunia terasa gelap bagiku, pening dikepalaku terasa begitu menyakitkan. Samar kudengar suara Aluna membisikkan kalimat syahadat di telingaku saat mata ini perlahan mulai terpejam, kurasakan ada setitik air yang jatuh menetes di pipiku, hingga akhirnya aku tak merasakan dan mendengar apapun lagi.

SINOPSIS

LOVE in the DUSK

Love ini Dusk mengisahkan tentang kehidupan cinta seorang remaja bernama Dhia yang tengah berjuang melawan sakit yang dideritanya, leukemia. Kedekatannya dengan  seorang lelaki bernama Aluna Azzona, telah mengukir kenangan tersendiri di hatinya. Namun Dhia begitu sulit mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia mencintai Aluna, karena ia takut mencintai seseorang sementara hidupnya telah berada di ujung kehidupan. Untuk menghindari perasaan yang berkecamuk dalam hati, Dhia mencoba menjauhi Aluna. Saat Aluna tak ada lagi di sisi Dhia, barulah Dhia menyadari dengan sendirinya bahwa ia mencintai Aluna.

Saat ia mulai menjaga cintanya meski tak diungkapkannya, Aluna datang dan mengatakan bahwa ia mencintai Dhia. Sebagai seorang remaja, amat bahagia Dhia kala itu. Namun ajaran islam yang dianutnya, telah ia pegang teguh dihatinya. Dhia tidak ingin terjerumus pacaran, dan mengikuti hawa nafsunya. Dhia ingin Aluna menilai sendiri perasaannya bahwa ia juga mencintai Aluna. Dengan penuh harap agar Aluna mengerti maksudnya, Dhia menjawab pernyataan cinta Aluna dengan mengatakan bahwa akan ia pasrahkan semua pada Sang Khalik. Namun Aluna berpikiran lain, jawaban yang ia terima dari Dhia, ia tafsirkan sebagai tolakan atas cintanya. Untuk menutupi rasa malu, Aluna mengatakan bahwa semua yang ia katakan adalah sebuah lelucon. Mendengar demikian, rasa bahagia dalam hati Dhia perlahan berganti dengan perih yang teramat dalam. Dan saat itulah, terjadi salah paham diantara mereka berdua.

Namun, salah paham itu segera usai. Saat Dhia terbaring lemah dirumah sakit, Aluna mengatakan tentang kebenaran isi hatinya pada Dhia. Dan saat itu pula Aluna mendengar penjelasan dari Raka-sahabat terdekat Dhia, bahwa Dhia juga mencintainya.

Saat senja datang, Aluna kembali datang menemui Dhia. Ia kembali mengatakan tentang rasa cinta dihatinya. Dhia menjawabnya dengan penuh harap, berharap bahwa Aluna adalah imam yang dipilihkan Allah untuk dirinya. Saat tengah menikmati senja bersama Aluna dan cinta di sisinya, Dhia menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan semua cintanya di ujung senja.

Leave a comment